Halaman

Senin, 22 November 2010

Sekelumit Kisah yang Terlara #1

November-Desember 2009, akan menjadi bulan yang terkenang dengan segala memori menyakitkan di dalamnya. Peristiwa yang akan ku jadikan pelajaran, dan mungkin akan mengajarkanku akan kedewasaan. Kisah dimana aku yang tak berharta, tercekik mendengar dan harus menghadapi nominal yang cukup besar bagiku. Tapi yah, itu buah dari kecerobohanku. Dan yang semakin menyakitkan, kecerobohanku itu hampir menarik lepas diriku dari ikatan persahabatan dengan sahabatku yang kukenal semenjak ku duduk di bangku SD.

Akhir November 2009
Persiapan Idul Adha, aku diberi tugas untuk menjadi sie dokumentasi dalam kepanitiaan Idul Adha di sekolah. 3 hari sebelum hari H penyembelihan hewan qurban di sekolah, rangkaian kegiatannya yaitu penyerahan hewan qurban ke masjid-masjid yang mengajukan permohonan.

Rabu, 25 November 2009
Pagi-pagi sekali ketua oganisasiku mengirim sms, “Mbak, nanti jam 7 ke sekolah ya, bawa kamera. Makasih.” Dengan malas ku balas,“Untuk hari ini yang tugas Ota, aku udah sms dia. Soalnya sekalian dia ntar motret di acara guru, trus ntar langsung ke sekolah.” Smsan berlanjut dengan beberapa teman organsasi, dan Ryan mengusulkan untuk meminjam kamera, karena Ota bakalan siang nyampe sekolah, sedangkan acara kita dari pagi. Karena panggilan tanggung jawab dan profesionalisme tugas, akhirnya ku menyetujui usulan itu.

Gluduk !!!

“Aaahhh !!!” refleks ku menjerit tertahan. Mataku nanar menyaksikan kamera yang kupinjam dari Tia tadi pagi itu terjatuh. Sepintas teringat sekian detik yang lalu…

“Nduk, tolong ambilin kacamata di atas etalase di sebelah pintu utara mushola.” Guruku dhawuh padaku.
“Nggih, Pak.” Jawabku.
Kuulurkan tanganku yang memegang kamera ke adik kelasku, “Dek, nitip kamera sebentar ya!” Dua detik setelah itu…

Mataku berkaca-kaca, dengan gemetar kuraih kamera itu ke genggamanku. “Pie nduk?” kata guruku. Ku terdiam tak menjawabnya. Miris hatiku melihat kamera itu bagian depan yang berisi lensa bengkok. Kutekan tombol power. Diam. Scroll depan itu nggak mau bergerak. Tetap di posisi semula. Air mataku menggantung.
Dengan terluka, kuraih handphone. Ku tekan nomor HP Tia. Ahh, baterai lemah.

Kupinjam HP Ryan, kupasang simcardku. Dengan menahan isak tangis, ku telfon Tya, dan kuceritakan peristiwa beberapa menit yan lalu, meskipun pada akhirnya tetap tumpah air mataku. Berjuta kali ku memohon maaf padanya. Dari suaranya menanggapi ceritaku, ku tau dia sama bingungnya denganku. Kupikir, dia juga takut dengan ayahnya. Tapi aku jauh lebih bingung darinya, ku merasa bersalah dengannya sekaligus keluarganya. Lalu kutanya dia tempat servis kamera yang dia tau. Dia merekomendasikan beberapa tempat. Sebelum ku akhiri hubungan telpon itu, kuberanikan diri bertanya,
“Tya, kamu beli kameranya itu kapan?”.
“Sekitar taun lalu kayaknya.” Jawab Tya.
“Berapa?” tanyaku kembali.

“Emm.. Berapa yaa?? Kira-kira dua jutaan.”
Jawabnya.
Degg!!!! Aku kaget bukan main mendengarnya. Pikiranku langsung melayang, kalau kamera itu gak bias diperbaiki, alhasil aku harus mengganti sebesar 2juta!!! Aku tak sanggup membayangkannya. Darimana aku dapat uang sebanyak itu?

Sehari itu aku gunakan untuk muterin jogja, semua graha dan tempat servis kamera kudatangi, semuanya angkat tangan. Ada satu yang menawarkan untuk dibawa ke Jakarta, namun harus menunggu minimal 1bulan. Ku informasikan pada Tya tentan hal itu, dia nggak setuju.
“Akhir Desember kalo bisa udah jadi Fa.”
Ahh.. semakin sesak fikiranku. Akhir desember??? Lalu kudatangi 1 tempat servis lagi, harapan terakhir. Dan ku ucap Alhamdulillah… 1 tempat itu memberi sedikit harapan.

“Harus ditinggal 1minggu mbak, ntar kalo dalam 1minggu itu nggak bisa, langsung kami hubungi, dan hanya mengganti ongkos bongkar 15ribu rupiah.
”Kata petugasnya.
Ku hubungi Tya, dia pun setuju. Ku kembali ke sekolah untuk sholat, dan menenangkan diri sebelum pulang.
Hari-hari kulalui dengan perasaan waswas dan harap-harap cemas. Setiap usai sholat selalu kupanjatkan doa pada Allah agar kamera itu bisa diperbaiki.

...to be continued...

Tidak ada komentar: